Meriahnya Malam Satu Suro Di Kampung

Meriahnya Malam Satu Suro Di Kampung 


KLATEN-koranjateng.com
Malam satu Suro di kampung RT 04 RW 03 Kuncen-Sidodadi, Delanggu, Klaten, bukan sekadar ritus budaya atau prosesi memandikan pusaka. Bagi warga, malam pergantian tahun Hijriah menjadi momen guna lebih menyatu dengan kehidupan sehari-hari, media untuk memperkuat tali persaudaraan, dan pengingat bahwa solidaritas tumbuh dari kebersamaan kecil (26/06/2025).

Di ujung jalan kampung, tepatnya di depan pos ronda Rt 04, deretan kaleng dan panci berjejer rapi, siap menampung olahan “Jenang Suran” atau syukuran bubur sambal goreng di bulan Suro. Asap mengepul pelan, menebar aroma manis dan gurih yang mengundang siapa saja untuk bergabung. Semesta sekitar larut dalam tawa lembut anak-anak dan senyum orang tua yang saling sapa.  

Ketika fajar mulai menjauh, dan kegelapan malam menyelimuti, lampu-lampu kampung sederhana mulai menyala dan memantulkan cahaya temaram di langit kampung. Warga datang silih berganti, beberapa sambil membawa kayu bakar, beberapa lagi membawa piring kecil berisi bahan sederhana, gula merah, santan, beras ketan. Semangat gotong royong terasa nyata saat para ibu mengaduk jenang, sesekali terdengar celoteh penuh dayung, “Aduk perlahan, biar tidak gosong.” Sembari meramu bubur, percakapan mengalir ringan, mulai dari kabar kesehatan hingga perbincangan tentang bulan suro. Anak-anak berlarian di depan pelataran pos ronda, menebar keceriaan yang terus menular.  

Iwan salah seorang warga mengatakan “Tradisi bubur Suran ini memang selalu dilakukan oleh warga lingkungan Rt 04 Rw 03 Kuncen-Sidodadi, Delanggu ini dalam rangka menyambut tahun baru Hijriah, sekaligus syukuran sederhana atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.” paparnya 

Lebih lanjut dikatakan,” Terkait dengan pendanaan biasanya ini adalah solidaritas dari warga sekitar lingkungan, jadi tidak ada paksaan dan sifatnya solidaritas seikhlasnya.” terang Iwan.

Dirinya juga mengatakan “Sebenarnya setiap malam Jum’at sendiri memang ada tradisi Bapak-Bapak lingkungan Rt 04 ini berkumpul di pos ronda sekalian berjaga kampung dan menghabiskan malam sembari berkegiatan masak memasak dengan bahan apa adanya. Kebetulan malam Suro hari ini jatuh bertepatan di malam Jum'at jadi suasananya makin meriah karena tak hanya sebatas Bapak-Bapak yang hadir, melainkan Ibu-Ibu dan anak-anak juga ikut berkumpul bersama,” jelas Iwan 

Tak lama menjelang detik pergantian malam, mereka duduk melingkar di tikar usang, menikmati hangatnya jenang suran dengan sambal goreng. Perpaduan manis santan dengan pedas cabai memecah dinginnya udara malam. Suapan demi suapan terasa seperti ungkapan syukur atas kebersamaan, setiap gigitan mengokohkan ikatan, mengingatkan bahwa kekuatan kampung ada pada soliditas dan kekompakan warganya.  

Tak hanya soal perut yang kenyang, tradisi ini juga mengalir ke irama lagu dan gerak tari sederhana, lewat alunan musik karaoke yang mengalun pelan seiring dengan suara warga yang bernyanyi ceria, semua dari tua dan muda bersilang irama, menari dengan bahagia melepas penat, dan tawa pecah membelah malam. Anak-anak menari dan berlompatan girang orang-orang dewasa menyanyi dengan antusias. Dalam lirikan mata mereka, terlihat rasa bangga, tradisi warisan leluhur masih hidup, ditemukan kembali dalam kebahagiaan sederhana malam ini.  

Setelah perayaan hiburan, warga bersiap bertirakat di kediaman masing-masing, di area yang lebih sunyi, meskipun ada juga yang masih bertahan di pos ronda. Mereka merenung sejenak. Bertirakat bukan sekadar menahan diri, tapi ruang introspeksi bersama tentang segala hal yang terjadi dan harapan masa depan. Ada yang menutup mata, ada yang bersimpuh. Hening malam seketika diiringi desir angin yang berbisik lembut menyejukkan hati. Doa mereka berkisar pada kelancaran rezeki, kesehatan bagi semua, dan semangat untuk memperbaiki diri di tahun mendatang.  

Dalam kesederhanaan itulah keindahan toleransi dan semangat gotong royong tertuang. Warga Rt 04 Rw 03 tidak memandang status, bapak, ibu, dan anak-anak duduk berbaur. Persatuan mereka menjadi contoh nyata, bahwa tradisi desa bukan monolog kaku, melainkan dialog hangat antar-generasi. Rasa saling percaya tumbuh saat kayu bakar diangkat bersama, saat panci dibersihkan bergantian. Irama gotong royong seperti konser kecil yang mengalir tanpa sutradara, semua tahu perannya, semua bahu-membahu dan menikmati proses pergantian malam dan merasakan kebahagiaan dalam sepiring Bubur Suran.

Ketika panci terakhir jenang habis, dan musik berganti lirih, malam satu Suro di kampung ini menutup tirainya dengan keheningan bermakna. Warga pulang dengan hati lapang, membawa sisa jenang sebagai bekal esok hari. Mereka pulang bukan hanya membawa perut kenyang, tapi juga rasa bersaudara yang makin kuat. Tahun baru Hijriah di kampung tak lagi sebatas angka kalender, melainkan sebuah kisah kolektif tentang kebersamaan, harapan, dan komitmen menjaga nilai-nilai leluhur, mengawali lembaran baru dengan penuh semangat dan kesadaran bersama.  

Uul ketua muda-mudi Rt 04 yang juga menikmati alunan musik dari kejauhan mengatakan “Malam satu suro memang tak melulu identik dengan kesan mistis dan spiritual, di kampung ini justru suasana meriah dan kekeluargaan serta toleransi antar sesama kental tersaji. Ini adalah sebuah suasana yang jarang bisa didapatkan di perkotaan, dan melalui kegiatan sederhana tersebut semakin terlihat betapa kompak dan solidnya warga lingkungan Rt 04 Rw 03 Kuncen-Sidodadi, Delanggu ini.” ujarnya.

“Meski terlihat sederhana namun didalamnya harus kita akui bahwa bahwa warga lingkungan Rt 04 ini memang kompak, inilah yang merupakan salah satu aset berharga sebuah kampung yakni “kekompakan” yang belum tentu dimiliki oleh lingkungan kampung lain.” pungkasnya.

( Pitut Saputra )
Next Post Previous Post


Berita Pilihan :