Secangkir Teh Dan Sejarah Panjang Perjuangan.

Secangkir Teh Dan Sejarah Panjang Perjuangan.

SUKOHARJO-koranjateng.com
Lek Man kembali membuka Wedangan di  Gendengan, Wirun Mojolaban, Sukoharjo. Ini adalah cabang ke 16 dari Wedangan Lek Man yang memang pusatnya di Pasar Kembang Surakarta (13/04/2025).

"Wedangan yang sekiranya akan dibuka pada pukul 17.00 Wib sore hingga 03.00 Wib ini, tadi terpaksa dimajukan jam bukanya, karena banyak pelanggan yang ternyata sudah antre menunggu, karena itu daripada mengecewakan pelanggan maka akhirnya Wedangan saya majukan jam bukanya pada opening sore tadi." terang Lek Man saat ditemui awak media.

Seperti biasanya meski tidak ada acara seremonial yang mewah, namun Wedangan Lek Man memang selalu di buru banyak pelanggannya.



"Padahal saya disini ga ada teman sekali namun ya Alhamdulilah, begitu pintu saya buka separo tadi ketika masih bersiap mau opening, ternyata mereka sudah lama menunggu, akhirnya saya pun tidak tega dan langsung saja saya buka wedangan, sembari menunggu tenaga dari wedangan di Pasar Kembang yang memang saya suruh membantu rencananya," tutur Lek Man.

"Alhamdulilah sedari Pukul 15.00 Wib hingga Pukul 22.00 Wib tadi membludak mas,  sampai rumah di lantai atas juga terpakai padahal belum diset, penuh semua dari beranda hingga dalam gandok rumah sampai loteng atas." jelasnya.

"Saya sendiri juga heran padahal tidak ada promosi sama sekali, mungkin karena memang mereka penasaran kok ada warung wedangan buka disini makanya mampir mencoba," pungkas Lek Man.



Teh adalah lebih dari sekadar minuman. Di dalam setiap cangkirnya, tersimpan kisah panjang tentang tradisi, budaya, dan kehidupan masyarakat. Jawa Tengah, khususnya wilayah eks Karesidenan Solo Raya, adalah salah satu daerah yang memelihara erat budaya minum teh, terutama dalam tradisi wedangan.

Tradisi minum teh berasal dari Asia Timur, dengan Tiongkok sebagai pusat awal pengenalannya. Menurut legenda, Kaisar Shen Nung secara tidak sengaja menemukan teh pada 2737 SM ketika daun dari sebuah pohon jatuh ke dalam air yang sedang direbus. Sejak itu, teh tidak hanya menjadi minuman, tetapi juga simbol harmoni, kontemplasi, dan kebersamaan.

Di Indonesia, tradisi minum teh mulai berkembang pada masa kolonial, ketika teh ditanam di Jawa pada awal abad ke-19. Seiring waktu, budaya minum teh menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, terutama di Jawa Tengah yang mengadopsinya sebagai bagian dari identitas mereka.

Di Solo Raya, minum teh di wedangan menjadi sebuah tradisi yang tak tergantikan. Wedangan adalah warung tradisional sederhana yang menyajikan teh sebagai sajian utama, bersama makanan ringan khas lokal. Budaya ini tidak hanya menjadi kegiatan sehari-hari, tetapi juga ruang untuk berinteraksi, berbagi cerita, dan bersantai.

Eksistensi wedangan begitu kuat di Solo Raya hingga hampir di setiap sudut kampung ditemukan wedangan kecil yang menjadi tempat berkumpul berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat datang untuk menikmati teh hangat, tidak hanya sebagai pelepas dahaga, tetapi juga sarana untuk membangun hubungan sosial.



Teh yang disajikan di wedangan memiliki cita rasa khas. Sebagian besar pedagang wedangan berasal dari Bayat, Klaten, yang dikenal sebagai pusat racikan teh tradisional di kawasan ini. Sejarah mencatat bahwa para perantau dari Bayat membawa seni meracik teh ke kota-kota besar, seperti Solo, Yogyakarta, dan Semarang. Tradisi ini melibatkan penggunaan daun teh berkualitas tinggi yang diracik dengan gula batu atau gula jawa, menciptakan perpaduan rasa manis dan aroma teh yang khas.

Keunikan ini membuat minuman teh di wedangan memiliki tempat istimewa di hati para penikmatnya. Keseimbangan rasa teh dan kekhasan racikannya membedakan teh wedangan dari jenis teh lainnya.

Wedangan lebih dari sekadar tempat menikmati teh. Di sini, masyarakat dari berbagai kalangan saling berinteraksi. Obrolan yang hangat sering kali berisi topik seputar ekonomi, politik, sosial, budaya, dan seni. Dengan kata lain, wedangan menjadi miniatur kecil masyarakat desa yang penuh kehangatan dan kebersamaan.

Dalam suasana sederhana, sering kali muncul ide-ide besar di wedangan. Mulai dari gagasan tentang pelestarian budaya hingga inovasi yang berdampak pada pergerakan sosial. Wedangan menjadi ruang di mana dialog antar warga menjadi sumber inspirasi dan perubahan.

Secangkir teh yang disajikan di wedangan-wedangan eks Karesidenan Solo Raya menyimpan makna mendalam. Ia menjadi simbol keramahan, tradisi, dan kebersamaan masyarakat Jawa Tengah. Setiap seruput teh adalah cerita tentang budaya yang tetap hidup di tengah zaman yang terus berkembang.



Di era modern ini, tradisi wedangan memang jarang ditemukan di kota besar atau metropolitan. Namun, di Solo Raya, wedangan tetap menjadi bagian tak tergantikan dari kehidupan masyarakat. Warung sederhana ini diminati oleh semua kalangan, baik muda maupun tua, karena menawarkan suasana yang unik dan otentik.

Wedangan bukan hanya sebuah tempat. Ia adalah cerminan dari identitas masyarakat Solo Raya yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tradisi.

Tradisi minum teh di wedangan Solo Raya lebih dari sekadar budaya kuliner. Di dalamnya, terdapat interaksi sosial, cerita, dan sejarah yang membentuk identitas masyarakat. Karenanya, secangkir teh bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang makna yang menghubungkan manusia dengan tradisinya.

Wedangan Lek Man, adalah salah satu angkringan legendaris dari Bayat, Klaten, yang malam ini, kembali membuka cabang baru ke -16 di Sukoharjo. Pembukaan cabang ini menandai satu lagi fase pencapaian, selama perjalanan panjang Wedangan Lek Man dalam menyajikan hidangan khas Jawa Tengah kepada masyarakat Solo Raya dan Sekitar.

Paiman, pemilik Wedangan Lek Man ini, memang memiliki latar belakang yang kuat dalam bisnis kuliner. Ia merupakan cucu dari keluarga besar Muji Rahayu, yang merupakan salah satu pelopor wedangan legendaris dari Bayat, Klaten. Lek Man sendiri telah merintis usaha wedangan ini sejak lama, dengan gerai pusat di Pasar Kembang Solo.

Wedangan Lek Man terkenal dengan sajian makanan khas Jawa Tengah, seperti nasi bandeng, belut, teri, dan lain-lain. Selain itu, Wedangan Lek Man juga menyajikan aneka hidangan camilan, gorengan, bakaran, dan beragam minuman.

Lek Man mengungkapkan bahwa awal mula bisnisnya dimulai dari gerai pusat di Pasar Kembang Solo, yang kemudian berkembang menjadi franchise di beberapa wilayah Solo Raya. Saat ini, Wedangan Lek Man juga telah memiliki cabang di beberapa kota, termasuk Jakarta, Bali, dan Kalimantan.

Dalam mengembangkan bisnisnya, Lek Man tidak hanya fokus pada kualitas makanan, tetapi juga pada pelayanan dan kenyamanan pelanggan. Ia juga telah mengembangkan produk teh racikan khas Wedangan Lek Man, yang telah menjadi favorit banyak pelanggan.

Seperti diketahui bersama bahwa Bayat adalah Daerah di Kabupaten Klaten yang merupakan tempat  produksi racikan teh yang nikmat dan banyak dari warganya berprofesi sebagai pengusaha wedangan, yang sudah terkenal di seantero Daerah, bahkan bukan hanya Lek Man seorang, namun banyak juga pengusaha lain yang membuka usaha serupa.

Pembukaan cabang ke -16 di Bekonang Sukoharjo ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menikmati hidangan khas Jawa Tengah. Dengan demikian, Wedangan Lek Man dapat terus berkembang dan menjadi salah satu destinasi kuliner favorit di Solo Raya dan sekitar.

Ini adalah sebuah fase perjalanan panjang yang bisa dikatakan tidak mudah dan sangat berliku jalannya, namun berkat ketekunan, kesabaran dan kerja keras Dirinya mampu melewati beragam rintangan dan terus berjalan maju guna bisa berkembang serta ekspansi ke seluruh wilayah Solo Raya.



Selamat Lek Man atas pencapaian dan pembukaan outlet wedangan Lek Man Cabang Ke 16 ini, moga makin laris manis dan bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja lagi, dan memberikan kesempatan bagi lahirnya pengusaha-pengusaha wedangan baru. 

Perjuangan seorang Lek Man dalam perjalanan usaha wedangan nya, serta keberhasilan mengentaskan perekonomian banyak orang, semoga menjadi sebuah keberkahan bagi banyak pihak yang telah merasakan buah dari proses belajar ilmu wedangan bersamanya. Pembukaan gerai baru ke 16 ini semoga bisa menambah dan  meramaikan perbendaharaan database kuliner di Solo Raya. 


Semoga tradisi wedangan ini tetap lestari, dan kisah sukses sosok Lek Man satu dari sekian banyak pengusaha dalam bidang wedangan ini bisa menginspirasi generasi mendatang untuk terus menjaga budaya dan kekayaan warisan nenek moyang, serta tanpa lelah berusaha keras mewujudkan mimpi.

( Pitut Saputra )
Next Post Previous Post


Berita Pilihan :