Yupi Let's Speak Up di SDN 2 Wadunggetas dan SDN 2 Sribit
Yupi Let’s Speak Up di SDN 2 Wadunggetas dan SDN 2 Sribit
KLATEN-koranjateng.com
Pagi di SDN 2 Wadunggetas Wonosari dan SDN 2 Sribit, Delanggu, tahun ini terasa berbeda. Gemuruh tawa dan sorak sorai menebar semangat kala tim Yupi Let’s Speak Up memasuki gerbang sekolah. Bendera merah putih berkibar perlahan, seolah menyaksikan kelahiran sebuah inisiatif baru, membantu anak-anak memahami makna persahabatan sejati dan berani bersuara ketika menghadapi perilaku yang tidak adil. Gerak langkah kecil ini dirancang bukan sekedar memberi materi bullying, melainkan meninggalkan jejak perubahan sikap di benak murid-murid, menumbuhkan pondasi solidaritas yang kelak akan memperkuat ikatan kemanusiaan mereka (17/07/2025).
Pada detik pertama sesi, edukator Yupi menyapa seluruh kelas dengan senyum melebar. Materi disampaikan dalam bahasa sederhana, apa itu bullying, bagaimana mengenali bentuknya, fisik, verbal, maupun sosial dan mengapa tindakan tersebut perlu dihentikan. Ilustrasi kartun gambar peraga dan cerita pendek membuat anak mudah mengingat, sedangkan tanya jawab interaktif menciptakan ruang aman bagi mereka untuk bertanya tanpa rasa takut. Suasana hangat terpancar saat satu per satu tangan kecil terangkat, menandakan rasa ingin tahu yang tak terbendung.
Seiring detik bergulir, anak-anak diajak ikut simulasi peran. Ruang kelas dan pelataran sekolah berubah menjadi panggung sandiwara mini, beberapa siswa berperan sebagai pelaku, korban, dan penonton. Dalam permainan itu, mereka merasakan getirnya diejek atau didiamkan, lalu belajar mengubah situasi menjadi momen solidaritas, mengulurkan tangan, menenangkan, dan mengajak korban berbicara. Gelak tawa dan desah kelegaan silih berganti memenuhi ruangan. Di balik keseruan, tumbuh pemahaman mendalam bahwa setiap kata dan tindakan bisa menyakiti atau menguatkan.
Pendekatan edukatif team Yupi Let's Speak Up menitikberatkan pada empati. Setelah simulasi, murid-murid diajak merenung dalam sesi diskusi kecil. “Bagaimana rasanya menjadi korban?” tanya fasilitator, diikuti bisik-bisik girang. “Apa yang bisa kita lakukan kalau melihat teman sedang sedih?” tanya yang lain. Jawaban bermunculan dengan polos, memeluk, mengajak bermain, melapor ke guru. Kata-kata sederhana tapi bermakna besar, anak-anak mulai meredefinisikan arti keberanian, bukan sekadar menonjolkan kekuatan, melainkan memelihara kebaikan.
Klimaks hari itu terjadi saat tim Yupi menebar apresiasi, setiap murid yang menjawab pertanyaan, memimpin diskusi, atau menunjukkan sikap peduli mereka mendapat permen Yupi. Suasana berubah menjadi festival kecil, di mana keberanian bicara dan empati dirayakan dengan riuh yel-yel anti bullying. “Bersatu kita kuat, Stop Bullying, Ayo Peduli” bergema di lapangan, seakan janji anak-anak untuk melindungi satu sama lain. Genggaman kecil memegang permen bukan hanya kenang-kenangan manis, melainkan simbol solidaritas yang melekat di hati.
Lebih dari sekadar kegiatan sekali jadi, agenda ini mengandung makna jangka panjang. Setiap senyum yang terukir menandai tumbuhnya kesadaran kolektif tentang pentingnya lingkungan aman bagi masa kecil. Guru-guru yang ikut menyaksikan pun merasakan gairah baru, mereka berkomitmen melanjutkan diskusi di kelas, menggunakan materi sederhana Yupi agar nilai peduli dan tolong-menolong tetap hidup. Orang tua, yang mendengar cerita si kecil, ikut terpanggil untuk mengawasi interaksi di luar sekolah.
Ini bukti nyata bahwa produsen permen bisa merangkul dunia pendidikan lebih dalam. Yupi, lewat inisiatif Let’s Speak Up, menyatukan peran industri dan lembaga sekolah, menegaskan bahwa tanggung jawab sosial merek meluas sampai ke ruang kelas. Melalui kombinasi permainan, cerita, dan apresiasi, perusahaan membuktikan bahwa edukasi anti bullying bisa dikemas menarik tanpa mengurangi bobot pesan moralnya. Anak-anak belajar bahwa setiap mereka punya suara, dan suara itu mesti dilindungi dan dihargai.
Seusai sesi penutup di Delanggu, tim Yupi tak berlama-lama beristirahat. Esok pagi, langkah mereka akan beralih ke pusat kota Klaten. SD - SD di Klaten Kota sudah menanti giliran. Persiapan materi disesuaikan dengan karakter lingkungan setempat, lebih banyak simulasi lapangan terbuka, atau cerita resonan dengan budaya lokal. Misi tetap sama, menanamkan kesadaran anti bullying pada hati setiap anak.
Ketika matahari kian keatas di Delanggu, gema yel-yel anti bullying masih bergema di sanubari. Hari esok menjanjikan petualangan baru, tantangan berbeda, tapi semangat yang sama, membentuk generasi yang berani berbicara, peduli pada sesama, dan bersatu melawan ketidakadilan. Yupi Let’s Speak Up telah menapaki satu babak, siap menuliskan kisah penguatan solidaritas di sekolah berikutnya. Semoga gelombang kecil ini berubah jadi ombak kebajikan yang menerpa sekolah-sekolah seluruh Klaten, hingga setiap anak berjalan dengan kepala tegak, yakin bahwa suara mereka punya kekuatan.
( Pitut Saputra )