Ketika Cita-Cita Berdirinya Kepri Diabaikan Pejabat Zaman Now,Melayu Hanya Sebatas Pelengkap


Oleh: Megat Rury Afriansyah

Batam,koranjateng.com- 16 Oktober 2025,Dua dekade lebih telah berlalu sejak Provinsi Kepulauan Riau resmi berdiri pada tahun 2002. Lahir dari semangat juang dan idealisme yang tinggi, Kepri bukan sekadar pemekaran administratif. Ia lahir dari tekad masyarakat kepulauan untuk memiliki rumah besar sendiri—rumah yang mampu menjaga martabat, menyejahterakan rakyatnya, dan mengangkat budaya Melayu sebagai jati diri.

Namun kini, cita-cita itu perlahan memudar. Dalam banyak kebijakan dan dinamika pemerintahan, semangat awal perjuangan seperti terpinggirkan. Pejabat yang mestinya menjadi penjaga api semangat itu justru kerap sibuk dengan urusan kekuasaan, melupakan dasar perjuangan yang melahirkan provinsi ini. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan kepentingan politik, Melayu sering kali hanya menjadi pelengkap—dihadirkan dalam seremoni, dipamerkan dalam simbol-simbol, tetapi tidak benar-benar diberi tempat dalam pengambilan keputusan strategis.

Budaya Melayu bukan sekadar pakaian adat atau tarian penyambutan. Ia adalah identitas, akar, dan jiwa masyarakat Kepri. Ketika Melayu hanya dijadikan hiasan, maka provinsi ini kehilangan rohnya. Masyarakat tempatan kehilangan ruang, sejarah dilupakan, dan perjuangan generasi terdahulu menjadi sia-sia.

Karena itu, sudah saatnya semua pihak—pejabat, tokoh masyarakat, budayawan, dan generasi muda—kembali menegakkan cita-cita awal berdirinya Kepri. Pemerintah daerah harus berani menempatkan nilai-nilai budaya Melayu sebagai landasan pembangunan, bukan sekadar pemanis. Generasi muda Melayu perlu bangkit, tidak hanya menjadi penonton, tetapi penggerak perubahan.

Melayu bukan pelengkap. Melayu adalah tuan rumah di tanahnya sendiri. Maka marwah ini harus dijaga, bukan hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata.

Cita-Cita Awal Pembentukan Kepri

Provinsi Kepulauan Riau resmi berdiri pada 24 September 2002, setelah memisahkan diri dari Provinsi Riau. Salah satu semangat utamanya adalah memberi perhatian lebih besar pada daerah kepulauan yang sebelumnya merasa kurang tersentuh pembangunan di provinsi induk. Namun, apakah cita-cita tersebut bakal tercapai, atau hanya stimulus untuk menggapai keserakahan kekuasaan dan penguasaan sumber daya ekonomi, masih menjadi tanda tanya hingga saat ini.

Menjaga identitas budaya Melayu sebagai akar sejarah wilayah ini, adalah landasan perjuangan Provinsi Kepulauan Riau. Memberi ruang bagi masyarakat tempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan dan pemerintahan, seharusnya merupakan nafas perjuangan para tokoh masyarakat. Dengan kata lain, pembentukan Kepri mestinya bukan sekadar pemekaran administratif, tetapi juga manifestasi identitas dan harga diri Melayu kepulauan.

Cita-Cita Itu Diabaikan

Ungkapan 'diabaikan' oleh pejabat di Kepri maupun Kota Batam, sepertinya tepat disematkan saat ini. Sebab perilaku penguaa zaman now mencerminkan kondisi di mana: (a) Pejabat (terutama yang berkuasa) lebih sibuk dengan kepentingan politik atau pribadi, bukan misi awal perjuangan Kepri; (b) Nilai-nilai budaya Melayu tidak menjadi roh dalam kebijakan atau pembangunan daerah.

Faktanya saat ini, Orang Melayu - sebagai kelompok tempatan - merasa terpinggirkan dalam pengambilan keputusan strategis. Begitu juga pembangunan lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat luas, apalagi para stakeholder yang memperjuangkan lahirnya provinsi ini.

Melayu sebagai 'Pelengkap'

Istilah “pelengkap” di sini sangat tajam. Ia mengandung makna bahwa: * Budaya Melayu hanya dijadikan hiasan seremoni—dipakai saat acara adat, peresmian, atau festival—tetapi tidak dilibatkan secara substantif dalam arah pembangunan; * Orang Melayu sendiri tidak banyak mendapat posisi strategis atau peran penting, hanya “diikutsertakan” untuk legitimasi kultural, juga; * Identitas lokal mengalami komodifikasi (dipakai untuk kepentingan citra), bukan pemberdayaan.

Daripada sekadar menjadi keluhan, pernyataan ini bisa menjadi seruan moral dan politik agar: (a) Pemerintah daerah kembali ke roh perjuangan awal Kepri: memperjuangkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat tempatan; (b) Budaya Melayu diintegrasikan ke dalam kebijakan publik, bukan hanya simbolik; (c) Regenerasi kepemimpinan Melayu perlu diperkuat - bukan berarti eksklusif, tetapi inklusif dengan pijakan budaya sendiri; (d) Masyarakat sipil, budayawan, dan akademisi dapat berperan sebagai penjaga narasi sejarah, agar cita-cita itu tidak padam.

Berdiri Tegak di Tanah Leluhur

Dari pembahasan tersebut di atas, kita mesti berdiri tegak di tanah yang lahir dari perjuangan panjang. Kepulauan Riau bukan hadiah. Ia buah dari tekad, darah, dan keringat para pejuang yang ingin melihat tanah kepulauan ini berdiri tegak - berdaulat, bermartabat, dan berbudaya. Namun kini, mari kita jujur… Cita-cita itu mulai diabaikan. Pejabat sibuk dengan kepentingan sendiri, sementara Melayu—yang dulu menjadi roh perjuangan—kini hanya menjadi pelengkap upacara. Simbol dipakai, adat ditampilkan, tapi suara Melayu perlahan diredam.

Kita tidak boleh diam. Budaya Melayu bukan sekadar pakaian adat di atas panggung, tapi jati diri yang mengalir dalam nadi kita. Kita harus berdiri tegak, menuntut keadilan, menegakkan kembali cita-cita pendirian provinsi ini. Melayu harus kembali menjadi subjek, bukan objek. Menjadi penggerak, bukan sekadar penonton. Marwah ini tidak boleh dibiarkan pudar!

Ingat… Melayu bukan pelengkap — Melayu adalah rumahnya Kepri.
Dan rumah ini hanya akan tegak bila tuan rumahnya bangkit! ( Red )

Profil penulis: Rury Afriansyah adalah Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Kota Batam. Organisasi sayap utama Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau. Saat ini penulis sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan pada bisnis hotel yang telah dirobohkan mafia tanah yang didukung pemerintah Kota Batam.
Next Post Previous Post


Berita Pilihan :