Ketika Negeri "FOBIA" Pada Kejujuran Maka Melayu Tempatan Terabaikan
Oleh: Monica Nathan
Koranjateng.com - Di negeri ini, kejujuran sudah berubah menjadi penyakit.
Siapa yang terlalu suka kejujuran akan dikucilkan.
Siapa yang berani berkata apa adanya akan dilabeli provokator.
Dan siapa yang menolak suap, dianggap musuh sistem.
Itulah sebabnya negeri ini tampak damai —
bukan karena bebas dari masalah,
tapi karena orang-orang yang suka kejujuran sudah kehabisan tempat untuk berdiri.
Ketika yang Suka Kejujuran Dianggap Ancaman
Lihatlah Batam.
Ketika mafia lahan dan pejabat rakus bersekongkol melecehkan tokoh Melayu dan menenggelamkan kasus Purajaya,
selalu ada satu-dua orang yang masih suka kejujuran.
Mereka menulis laporan, mengumpulkan bukti, dan berbicara dengan hati.
Dan seperti biasa — negeri ini tidak suka pada mereka.
Sebab suara jujur membuat mafia gelisah dan koruptor sulit tidur.
Akhirnya mereka diserang: diintimidasi, dikriminalisasi, difitnah.
Pola klasik negeri ini: kalau tak bisa dibeli, ya harus dibungkam.
Negara yang Gagap Melihat Keberanian
Lucunya, banyak pejabat gagap menghadapi keberanian yang lahir dari kejujuran.
Mafia mengatur alur dari balik siraman uang.
Pejabat daerah menunggu instruksi pusat.
Polisi tak berpihak pada pelapor, jaksa pura-pura tak tahu siapa yang harus dijerat,
dan hakim menunggu “petunjuk” — dengan indikator ketebalan amplop.
Semakin tebal, semakin jelas arah putusannya.
Sementara itu, rakyat Melayu menatap reruntuhan Hotel Purajaya —
lambang kerja keras dan marwah Melayu yang dihancurkan begitu saja.
Negara memilih diam, karena suara Melayu dianggap mengganggu “rencana investasi besar”.
Melayu: Sabar, Tapi Tidak Buta
Melayu memang sabar, tapi tidak bodoh.
Mereka tahu siapa yang bermain, siapa yang mencuri hak, siapa yang bertindak tanpa dasar hukum.
Dari Batam sampai pulau-pulau kecil Kepri, ketegangan makin terasa.
Rakyat hanya menunggu waktu.
Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang menunggu dengan keyakinan,
bukan pada yang menindas dengan kekuasaan.
Ketika Mafia Mengatur Negara
Kita kini hidup di masa aneh.
Mafia punya nyali gila, pejabat punya kepentingan,
rakyat hanya punya kesabaran.
Tapi kesabaran juga punya batas.
Hukum berubah jadi dagangan;
pasal diputar sesuai pesanan;
sanksi dihapus dengan sumbangan.
Yang lebih mengerikan — banyak pejabat tidak lagi malu.
Sebab di republik ini, rasa malu dianggap penghambat karier.
Mereka lupa, bangsa ini dibangun oleh orang-orang yang mencintai kejujuran —
oleh Melayu yang menanamkan bahasa persatuan, adab, dan rasa hormat ke seluruh Nusantara.
Ironisnya, bangsa yang mewarisi nilai-nilai itu justru menendang pemilik akarnya keluar dari tanah sendiri.
Prabowo dan Cermin Retak di Kepri
Presiden Prabowo bicara besar tentang kehormatan, kedaulatan, dan keadilan.
Namun di Kepri, tiga kata itu tinggal jargon.
Presiden Prabowo senang teriak soal anti korupsi.
Namun di Batam, korupsi adalah otak sistim.
Rakyat Melayu menunggu — bukan kata-kata, tapi tindakan.
Laporan pidana sudah masuk.
Laporan ke KPK sudah diterima.
Aparat tinggal bergerak.
Pertanyaannya:
Beranikah mereka menyentuh yang besar di balik layar?
Ataukah kita akan kembali menyaksikan babak lama:
yang kecil ditangkap, yang besar diselamatkan?
Bangsa yang Takut pada Cermin
Negeri ini bukan takut pada korupsi.
Ia takut pada cermin kejujuran.
Sebab di sana, wajah sendiri terlihat kotor.
Rakyat Melayu di Batam dan Kepri kini memegang cermin itu tinggi-tinggi.
Mereka tidak menuntut uang atau jabatan —
mereka hanya menuntut satu hal: kejujuran yang tidak bisa dibeli.
Dan justru itulah yang paling menakutkan bagi bangsa yang terbiasa berdusta.
Penutup: Marwah Tak Bisa Dibungkam
Purajaya bisa dirobohkan,
tapi marwah Melayu tidak bisa dikubur.
Ia hidup di setiap lidah yang masih suka kejujuran,
di setiap mata yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Negeri ini mungkin bisa memenjarakan orang yang suka kejujuran,
tapi tidak bisa memenjarakan ingatan rakyat terhadap kebenaran.
Dan bila gelombang keadilan datang,
ia tidak akan lahir dari istana,
melainkan dari laut Melayu yang selama ini dikotori negara.
Karena di sana, kebenaran sedang menunggu ombak berikutnya.
Dan ombak — seperti Melayu — tidak pernah benar-benar diam.
Ia hanya menunggu.
Dan ombak besar pasti akan datang.( Red )