Belanda, 17 Agustus 1945, dan Sisa-Sisa Kolonialisme yang Masih Membayangi Indonesia

*Opini Publik*
*Oleh : Feri Rusdiono, SH. Penulis Adalah Jurnalis Senior dan Sekaligus Ketum PWOD*

Tujuh puluh delapan tahun lebih sudah Indonesia merdeka, namun perdebatan mengenai pengakuan kemerdekaan oleh Belanda tidak pernah benar-benar selesai.

Fakta sejarah menunjukkan, Indonesia secara tegas memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Itu adalah momentum sah berdirinya sebuah negara merdeka.

Namun, Belanda selalu menolak mengakui tanggal itu. Mereka bersikeras baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, saat Konferensi Meja Bundar menghasilkan penyerahan kedaulatan.

Sikap Belanda ini jelas sarat kepentingan. Mereka ingin mempertahankan narasi bahwa Indonesia bukan hasil revolusi, melainkan hasil kompromi politik.

Alasan utamanya sederhana: jika Belanda mengakui 17 Agustus 1945, maka seluruh agresi militer mereka dari 1945 sampai 1949 akan tercatat sebagai kejahatan perang.

Itu artinya, pembantaian rakyat sipil, penghancuran desa, hingga eksekusi massal yang dilakukan tentara kolonial Belanda tidak bisa lagi ditutupi dengan alasan “penertiban keamanan”.

Pengakuan 17 Agustus akan menjatuhkan martabat Belanda di mata dunia. Mereka akan tercatat sebagai agresor kolonial yang menolak hak kemerdekaan bangsa lain.

Inilah yang membuat Belanda memilih jalan politik: mengakui kemerdekaan Indonesia baru pada 1949, agar seolah-olah transisi itu berjalan “legal” dan “teratur”.

Padahal, dunia tahu bahwa selama 1945–1949, rakyat Indonesia bertempur habis-habisan mempertahankan kemerdekaan.

Perang Revolusi itu bukan sekadar bentrokan senjata, tetapi sebuah perjuangan total: diplomasi, gerilya, hingga pengorbanan rakyat biasa.

Banyak sekali korban jatuh akibat kekejaman tentara Belanda. Salah satu tragedi paling kelam adalah pembantaian di Rawagede (1947), di mana ratusan warga sipil dieksekusi.

Di Sulawesi Selatan, pasukan Westerling melakukan eksekusi massal ribuan penduduk dengan dalih pemberantasan gerilyawan. Itu semua adalah luka sejarah yang belum sembuh.

Jika Belanda mengakui 17 Agustus, maka tragedi-tragedi itu otomatis menjadi bukti kejahatan perang. Inilah yang mereka hindari sampai kini. Bagi bangsa Indonesia, penolakan itu bukan sekadar persoalan tanggal, tetapi menyangkut martabat nasional.

Pengakuan 17 Agustus 1945 berarti pengakuan terhadap kedaulatan rakyat Indonesia yang lahir dari perjuangan, bukan hadiah atau kompromi.

Sayangnya, narasi Belanda sering mendapat tempat di kalangan elite Indonesia yang berpikir pragmatis.

Masih ada yang mengatakan bahwa tanpa KMB, Indonesia tak akan diakui dunia. Padahal, diplomasi internasional saat itu sudah banyak mendukung Indonesia.

Negara-negara seperti Mesir, India, dan Uni Soviet telah lebih dulu mengakui kemerdekaan Indonesia sebelum 1949.

Itu membuktikan, pengakuan kedaulatan kita tidak lahir dari KMB, melainkan dari fakta nyata bahwa Indonesia sudah menjadi negara merdeka sejak 1945.

Penolakan Belanda untuk mengakui 17 Agustus adalah bentuk upaya kolonialisme baru: mengaburkan sejarah, menguasai narasi, dan melemahkan kepercayaan diri bangsa kita.

Di sinilah letak bahayanya. Narasi kolonial masih hidup, bukan hanya di Belanda, tetapi juga melalui antek-antek kolonial di Indonesia.

Mereka adalah kelompok yang dengan sengaja melanggengkan pandangan Belanda bahwa Indonesia baru sah merdeka tahun 1949.

Mereka menutupi kekejaman perang, mengurangi bobot perjuangan rakyat, dan mendorong generasi muda melupakan fakta sejarah.

Ironisnya, sebagian besar generasi sekarang memang lebih mengenal 1949 sebagai “pengakuan kedaulatan” daripada menghayati arti 1945 sebagai kemerdekaan sejati.

Inilah dampak laten dari politik sejarah Belanda. Mereka mungkin kalah secara militer, tetapi berusaha menang dalam membentuk memori sejarah.

Tugas bangsa Indonesia adalah membongkar narasi itu. Kita harus menegaskan kembali bahwa 17 Agustus 1945 adalah satu-satunya hari lahir bangsa Indonesia.

Tidak ada kompromi, tidak ada versi lain. 1949 hanyalah tanggal di mana Belanda terpaksa menyerah setelah gagal mempertahankan kolonialisme. Generasi muda harus diajak memahami bahwa proklamasi 17 Agustus adalah keputusan berdaulat bangsa, bukan hadiah dari siapa pun.

Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan itu dengan risiko besar, bahkan menghadapi ancaman nyata dari Jepang maupun Belanda. Namun, keberanian itu justru menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah hak, bukan pemberian.

Jika kita mengikuti narasi Belanda, maka seakan-akan kemerdekaan Indonesia lahir dari belas kasihan kolonial, bukan dari darah dan air mata rakyat. Itu adalah penghinaan terhadap jutaan pejuang yang telah gugur di medan perang dan rakyat yang disiksa dalam penjajahan.

Belanda mungkin berusaha melupakan kejahatan masa lalu mereka, tetapi Indonesia tidak boleh melupakan penderitaan bangsanya.

Memori sejarah itu harus dijaga, diajarkan, dan diwariskan. Bukan untuk dendam, tetapi untuk membangun kesadaran.

Kesadaran bahwa penjajahan, dalam bentuk apa pun, harus dilawan. Saat ini, bentuk penjajahan tidak lagi berupa agresi militer, tetapi bisa melalui ekonomi, politik, budaya, dan informasi.

Narasi tentang kemerdekaan yang dimanipulasi adalah bagian dari upaya melemahkan jati diri bangsa. Jika kita lengah, generasi mendatang bisa saja tidak lagi melihat 17 Agustus sebagai momen sakral, melainkan sekadar seremoni.

Itu adalah bahaya besar, karena tanpa kesadaran sejarah, bangsa akan mudah dipecah dan dikendalikan. Oleh karena itu, penting bagi semua elemen bangsa untuk melawan propaganda Belanda, baik secara akademis, diplomatis, maupun kultural.

Pemerintah Indonesia perlu lebih tegas menuntut pengakuan penuh atas 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan. Tidak hanya sekadar simbolik, tetapi juga disertai dengan pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang dilakukan.

Belanda harus menghadapi kenyataan bahwa mereka melakukan kekerasan brutal terhadap rakyat sipil Indonesia. Dunia internasional pun seharusnya tidak lagi memberi ruang bagi narasi kolonial yang menyesatkan.

Akademisi, jurnalis, dan sejarawan Indonesia harus terus menyuarakan kebenaran sejarah ini di forum internasional. Di dalam negeri, pendidikan sejarah perlu diperkuat. Anak-anak bangsa harus paham mengapa 17 Agustus begitu penting.

Mereka perlu tahu bahwa pengakuan 1949 bukanlah titik awal, melainkan akhir dari upaya Belanda menolak kenyataan. Untuk itu Kemerdekaan sejati tetap 1945. Itu harga mati.

Bangsa yang melupakan sejarahnya akan mudah dipermainkan. Karena itu, mempertahankan narasi 17 Agustus adalah bagian dari mempertahankan kedaulatan.

Sebagai rakyat Indonesia, kita wajib menjaga, mengingat, dan mengajarkan bahwa kemerdekaan kita bukan hadiah, bukan hasil kompromi, melainkan hasil perjuangan yang dimulai pada 17 Agustus 1945. Itulah martabat bangsa.( Red )

🇮🇩NKRI Harga Mati!

🇮🇩Bersatu Menjaga Ideologi & Kedaulatan Bangsa.

🇮🇩Bersihkan Indonesia dari Antek Belanda, Komunis, & Kapitalis Perakus SDA

Previous Post


Berita Pilihan :