Hari Sumpah Pemuda: Ruang Diskusi Terbuka, Narasumber Utama Tak Hadir


 Lamongan, Koranjateng.com — Memperingati Hari Sumpah Pemuda, Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) menggelar Diskusi Umum bertajuk kebangkitan kaum muda Lamongan. Forum yang diharapkan menjadi medium refleksi sekaligus sikap kritis pemuda terhadap arah kebijakan daerah yang dipandu oleh M. Nursalim. Peserta yang hadir dari berbagai elemen organisasi: IPNU-IPPNU, Pemuda Muhammadiyah, Komunitas LA BRAK, Pelita UMKM, NGADEMI, Gerakan Pemuda Nasionalis Demokrasi, serta kalangan pers.


Namun ruang diskusi yang telah terbuka itu berujung ironi. Empat narasumber utama yang diagendakan — Ir. H. Suhandoyo, Dirham Akbar Aksara, Ahmad Umar Buwang, dan Faturrahman — tidak hadir secara bersamaan. Ketidak hadiran narasumber terutama yang mewakili eksekutif dan legeslatif yang selama ini dianggap representasi pemimpin muda Lamongan itu menimbulkan pertanyaan publik: semangat kebangkitan pemuda berhenti di undangan, bukan pada kehadiran.


Meski demikian, forum berjalan dengan narasi tunggal dari Dr. Afan Alfian yang hadir sebagai narasumber. Ia mengangkat figur Utsamah bin Zaid, Sultan Muhammad Al-Fatih, dan Sayuti Melik sebagai tiga contoh historis keberanian pemuda mengambil peran strategis dalam sejarah. Menurutnya, kapasitas pemuda sering tidak diragukan, tetapi ruang pengakuan dan pengaruh kerap dibatasi oleh sistem yang kaku. Bahkan pemuda yang sudah menduduki jabatan formal pun tidak selalu diberi ruang bersuara.


Dari peserta forum, kritik struktural muncul. Nurrozuki dari Majelis Milangkori menyoroti lemahnya pelibatan pemuda dalam perumusan kebijakan daerah, termasuk Perbup No. 79/2019 tentang LKK yang hanya diunggah judulnya tanpa naskah. Akibat minimnya transparansi, ia menilai Karang Taruna bergerak tanpa arah kebijakan yang jelas, sementara Dinas Sosial terlalu fokus pada program bantuan hingga abai terhadap pembinaan kepemudaan. “Ungkapan ‘pancene ngono’ adalah bentuk pasrah yang mematikan regenerasi,” ujarnya.


Suara lain disampaikan Supardi, mantan Sekda Lamongan, yang menilai absennya pejabat muda merupakan simbol tertutupnya ruang kritik bagi mereka yang berada di lingkar kekuasaan. Ia juga menyinggung transparansi utang Pemkab Lamongan ke Bank Jatim demi mencegah beban antargenerasi, sembari mengingatkan pentingnya adab dalam mengkritik. “Kritik boleh tajam, tapi harus beradab,” tegasnya.


Dari kursi peserta muncul gagasan untuk memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai propaganda positif kebangkitan pemuda. Raden Imam menekankan bahwa perjuangan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. “Melawan ketidakadilan harus bersama. Persatuan adalah napas kebangkitan,” ucapnya.


Forum juga mencatat data bahwa 27.000 sarjana muda Lamongan berada dalam status pengangguran. Angka ini menjadi indikator bahwa persoalan pemuda tidak sekadar moral dan idealisme, melainkan juga kebijakan ekonomi dan ruang peran.


Pada akhirnya, diskusi ini memantulkan wajah kepemudaan Lamongan hari ini: potensi besar yang kerap berhadapan dengan absennya teladan dari kalangan yang lebih berkuasa. Jika suara muda tidak diberi ruang, dan generasi senior memilih mempertahankan kebiasaan lama, maka Sumpah Pemuda hanya tinggal peringatan seremonial tanpa daya.



(Sunariyanto)

Next Post Previous Post

Hot News Today