Kuliner Tradisional Jenang Manis Jogya.

Kuliner Tradisional Jenang Manis Jogya.
JOGYAKARTA-koranjateng.com-
Seharian berpuasa, tentunya ketika berbuka puasa banyak sekali pilihan menu kuliner maupun jajanan yang menarik guna dinikmati, salah satu yang paling istimewa di Jogyakarta yakni makanan tradisional Jenang Manis aneka ragam rasa, seperti halnya yang biasa kita temui di Pasar Tradisional Pasar Bantengan, Wonocatur, Banguntapan, Jogyakarta (02/03/2025).

Raja salah seorang rekan menginformasikan "Ada sebuah kedai kecil bernama Dapur Unimo di pinggiran jalan Wonocatur, Pasar Bantengan tersebut, di kedai ini tersedia aneka macam jenang manis dari jenang putih, jenang grendul, jenang mutiara, jenang pandan, jenang kacang hijau dan banyak lagi. Mendekati waktu berbuka puasa pasti tempat ini diserbu banyak pengunjung dan pelanggan yang sedang ngabuburit maupun mempersiapkan buka puasa, disamping murah, kwalitas rasanya juga oke, tanpa bahan campuran pengawet sakarin dan lainnya, tersedia beragam jenis dalam kemasan cup mangkuk kecil seharga kisaran Rp 5000,- s/d Rp 10.000,- ( Lima Ribu hingga Sepuluh Ribu Rupiah ) per porsi atau cup tergantung berapa campuran rasa yang diinginkan." paparnya.

Dikatakan "Biasanya anak-anak mahasiswa di UGM seringkali memesan Takjil berupa jenang tersebut disini, atau kalau nggak, dijual lagi oleh mereka pada saat ngabuburit di sekitar kampus, mereka kalau pesan biasanya banyak minimal 50 sampai 100 cup, karena memang kuliner jenang tradisional ini enak dan membuat kenyang, jadi kalau berbuka puasa itu kan biasanya orang-orang tidak langsung makan besar nasi dan lainnya, kebanyakan mereka paling hanya minum air putih buat membatalkan puasa kemudian lanjut dengan makan camilan, jadi biar beradaptasi dulu perutnya, maka jenang ini menjadi salah satu alternatif makanan yang pas dinikmati ketika berbuka puasa, karena teksturnya yang lembut dan kenyil-kenyil serta tersedia aneka varian rasa dari pandan, coklat, kacang hijau dan lainnya, pas sekali buat berbuka, dan mengenyangkan pastinya." terang Raja menjelaskan.

Hal tersebut dibenarkan Ajik salah seorang rekan pewarta juga yang memang langganan di tempat ini, "Keistimewaan kuliner DIY adalah kaya akan tradisi, cita rasa khas, dan nilai sejarah yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Setiap hidangan menceritakan kisah budaya dan sejarah Daerah tersebut biasanya, begitupun dengan cita rasa khas
setiap hidangan di DIY, juga menawarkan cita rasa yang khas, seringkali hal ini dipengaruhi oleh rempah-rempah lokal, jadi identik dengan cita rasa manis karena sejarah perkebunan tebu dan produksi gula yang melimpah di DIY pada masa lalu." terangnya.

Ajik menambahkan "Dengan membeli makanan khas DIY ataupun memilih oleh-oleh kuliner khas DIY, kita juga telah turut berkontribusi dalam mempertahankan keberlanjutan warisan kuliner dan menjaga kelestarian budaya masyarakat setempat loh, makanya selagi di Jogyakarta nikmatilah kulineran atau oleh oleh yang ada, berarti kita juga telah berkontribusi pada pelestarian tradisi dan warisan kearifan lokal kuliner Jogya" terangnya.

Mengutip dari artikel "Legitnya Jenang Perekat Tradisi Jawa" karya Shuliya Ratnavara dan Pitut Saputra dikatakan "Jenang adalah salah satu kuliner sederhana dari Tanah Jawa yang telah melintas zaman selama lebih dari satu milenium. Sejarahnya dalam budaya Jawa terlacak jauh ke belakang hingga ke kitab-kitab kuno. Hingga kini jenang masih menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan bagi masyarakat di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Entah itu sebagai uba rampe ritual tradisi ataupun sebagai kudapan." terangnya 

Kemudian juga dijelaskan "Di balik kesederhanaan'nya, legitnya jenang menyimpan sejarah belasan abad dan tidak pernah lepas dari perkembangan budaya Jawa. Jejaknya bisa dilacak bahkan hingga ke kitab-kitab kuno. Mulai dari Kitab Ramayana versi Jawa dari zaman akhir Kerajaan Medang (930 masehi), Serat Lubdaka karya Empu Tanakung di era Kerajaan Kediri (abad XII), Kitab Nawa Ruci dari zaman Kerajaan Majapahit (abad XIV), Serat Centhini (1814-1823), hingga Serat Tatacara (1893) yang ditulis oleh Ki Padmasusastra. Kitab-kitab ini mencatat kehadiran jenang dan perkembangannya. Dimana pada mulanya jenang hanya dideskripsikan sebagai “makanan ringan yang manis dengan tekstur kenyal dan berwarna cokelat” (Kitab Nawa Ruci). Belakangan, mulai muncul catatan mengenai jenang sebagai sesaji di setiap tahapan acara pernikahan (Serat Centhini). Hingga kemudian Serat Tatacara mendokumentasikan ragam jenis jenang dan berbagai penggunaannya dalam tradisi masyarakat Jawa yang kemudian dikenal sebagai njenang." 

"Itulah kenapa makanan tradisional Jenang ini seolah begitu familiar di masyarakat Jawa pun Jogyakarta, maka tak mengherankan bilamana kuliner jenang ini selalu banyak dicari, oleh para penikmat kuliner didaerah manapun, banyak penggemarnya, karena memang untuk produsennya sendiri terbilang jarang, dan biasanya jenang ini, hanya bisa kita temui ketika ada acara acara budaya atau syukuran selametan dan ritual jawa lainnya, namun beruntungnya di Pasar Bantengan ini ada salah salah satu produsennya yakni Dapur Unimo, maka bila kebetulan melewati pasar ini jangan lupa mampir dan merasakan kenikmatan jenang dari Dapur Unimo," pungkas Ajik 

Terpisah Heri Priyatmoko, sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pernah mengulas dan menjelaskan "Kedekatan jenang dengan perayaan tradisi, tercatat pada Serat Tatacara (1893). Heri menjelaskan bahwa "Dalam serat tersebut dijelaskan secara rinci tentang bagaimana jenang dibuat untuk berbagai kebutuhan ritual adat. Salah satunya, untuk berbagai selamatan selama masa kehamilan hingga kelahiran. Misalnya, tradisi pembuatan jenang procot di waktu kehamilan sembilan bulan. Kemudian Jenang Procot juga memiliki makna dan harapan agar bayi lahir lancar dan selamat,” jelas Heri. Jenang Procot dibuat dari tepung beras yang dicampur gula jawa. Di bagian atasnya, lantas disiram santan dan disajikan dalam takir atau wadah dari daun pisang," pungkasnya.

( Pitut Saputra ) 
Next Post Previous Post


Berita Pilihan :