Menakar Aksi Demo di Pati Jawa Tengah

Menakar Hikmah Aksi Demo di Pati Jawa Tengah.


JATENG-Koranjateng.com
Aksi demonstrasi ribuan warga di Kabupaten Pati memancarkan gema harapan sekaligus peringatan bagi para pemangku kebijakan. Lebih dari sekadar suara protes, demonstrasi ini menjadi panggilan batin bagi publik dan penguasa untuk merenungkan kembali esensi demokrasi. Pengamat sosial kemasyarakatan Nurbertus Trisno Nugroho menegaskan, di balik kerumunan massa terdapat pelajaran berharga yang sejatinya dapat meredefinisi hubungan antara rakyat dan negara (13/08/2025).

Nurbertus mengawali analisisnya dengan menyoroti arogansi penguasa sebagai pemicu utama eskalasi konflik. “Ketika pejabat bersikap defensif dan menggunakan tekanan, konflik tak terelakkan,” ujarnya. Sikap intimidasi hanya menambah ketegangan, bahkan menimbulkan korban fisik dan kerugian materiil. Menurut Nurbertus, kekuasaan sejatinya bersifat temporer dan bersumber dari mandat rakyat. Pemimpin paling bijak bukanlah yang menumpas kritik, melainkan yang mendengarkan dan merangkul aspirasi warga.

Poin utama yang diangkat adalah urgensi transparansi dan akuntabilitas. Demonstran menyoroti ketidakjelasan anggaran, inkonsistensi janji kampanye, serta proses pengambilan keputusan yang tertutup. Nurbertus menegaskan bahwa keterbukaan data bukan sekadar formalitas, melainkan pondasi untuk membangun kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. “Dengan informasi lengkap, mulai rincian anggaran hingga indikator keberhasilan, masyarakat dapat menilai kebijakan secara objektif dan meminimalkan spekulasi negatif, serta menghindarkan praktek keputusan sepihak yang memicu gelombang protes masyarakat.” paparnya.

Gagasan konsultasi publik juga mendapat porsi penting dalam buah pikir Nurbertus. Ia merumuskan format forum berkala, daring maupun luring, sebagai sarana mencatat aspirasi warga. Platform digital, menurutnya, mampu menjangkau pelajar, pekerja muda, dan kaum difabel. Sementara pertemuan tatap muka menjadi jalan masuk bagi warga yang terbatas aksesnya ke teknologi. Nurbertus menekankan bahwa forum ini harus terstruktur dengan agenda terukur agar hasil diskusi dapat diolah menjadi kebijakan kontekstual.

Lebih jauh, Nurbertus melontarkan wacana agar pemerintah menggagas pembentukan tim independen untuk menampung aspirasi sebelum kebijakan diimplementasikan. Komposisi idealnya terdiri atas akademisi, tokoh masyarakat, serta perwakilan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan minoritas. “Tim independen memastikan kredibilitas dan integritas pengumpulan data,” tuturnya. Dengan pijakan data yang akurat, pemerintah dapat merumuskan kebijakan inklusif yang mencerminkan keragaman kebutuhan masyarakat Pati.

Tak kalah krusial adalah integrasi civil society dalam setiap tahap perencanaan pembangunan. Nurbertus menyoroti peran lembaga advokasi komunitas yang mampu menyuarakan isu lapangan, serta kelompok budaya lokal yang memegang warisan identitas. Menurutnya, kolaborasi sejajar antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil meningkatkan legitimasi kebijakan, sekaligus membuka akses bagi kelompok yang selama ini kerap terpinggirkan.

Nurbertus juga menyoroti peran akademisi, LSM, dan media dalam menjaga jalur kebijakan tetap berdaya guna. Akademisi diharapkan menyumbang data riset dan analisis berbasis bukti, sedangkan LSM menjadi jembatan aspirasi komunitas. Sementara media independen berperan sebagai pengawas publik, menyajikan liputan mendalam dan investigasi yang memantik refleksi. Dengan sinergi ini, proses pembuatan kebijakan akan terstruktur melalui verifikasi data dan pertanggungjawaban moral.

Untuk memastikan aksi demonstrasi tidak berhenti sebagai gema sesaat, Nurbertus juga memberi masukan mekanisme tindak lanjut berkelanjutan. Pemerintah daerah dapat membentuk forum pemantau progres rekomendasi yang melibatkan perwakilan demonstran. Institusi akademik dan lembaga survei independen diminta mengawal evaluasi dampak kebijakan. Di tingkat desa, masyarakat didorong berpartisip kepuasan dan diskusi publik lanjutan. Melalui skema ini, aspirasi massa menjadi bahan bakar konkret bagi perubahan sistemik.

Sebagai momentum nasional, Nurbertus menekankan pentingnya memperkuat pendidikan politik dan literasi media. Ia mendorong integrasi modul kontrol publik, hak asasi manusia, dan etika berpolitik ke dalam kurikulum sekolah hingga pelatihan desa. Pada era digital, literasi media menjadi benteng bagi generasi muda dalam menahan arus hoaks dan polarisasi. Dengan fondasi ini, masyarakat terlatih menjadi kritis, konstruktif, dan mampu berkolaborasi, mendewasakan demonstrasi sebagai pembuka dialog, bukan puncak konflik.

Secara keseluruhan, pandangan Nurbertus Trisno Nugroho menyorot demonstrasi di Pati sebagai cermin demokrasi yang perlu diasah terus-menerus. Aksi massa memberi sinyal bahwa tata kelola pemerintahan harus lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Bila seluruh rekomendasi Nurbertus diadopsi, aksi demonstrasi tidak lagi dipandang sebagai gejolak destruktif, melainkan katalisator perubahan yang membangun sinergi antara publik dan negara. Demonstrasi di Pati, dengan demikian, layak dijadikan pelajaran nasional untuk meneguhkan hak konstitusional dan menyeimbangkan hubungan kekuasaan dengan suara rakyat.

( Pitut Saputra )
Next Post Previous Post


Berita Pilihan :