Upaya Branding Media Melalui Proses Kreatif
Klaten, koranjateng.com - Pembuatan T-shirt atau kemeja bertema pers media lebih dari sekadar urusan pakaian, ia adalah upaya sadar guna memperkenalkan, memperkuat, dan merayakan keberadaan media di ruang publik, karena di tengah dinamika liputan dan pergeseran gaya komunikasi, seragam redaksi berfungsi sebagai alat simbolik yang menegaskan identitas, menumbuhkan solidaritas, serta memudahkan pengenalan saat jurnalis menjalankan tugasnya, oleh karena itu seragam pers bukan hanya soal fashion atau tren, melainkan bagian integral dari strategi branding agar media lebih dikenal, dipercaya, dan dekat dengan masyarakat, sehingga tak jarang kita temui awak media mengenakan kemeja atau T-shirt bermotif logo perusahaan saat peliputan dan wawancara narasumber di lapangan (15/11/2025).
Pitut Saputra, Kepala Perwakilan Wilayah Koranjateng.com Provinsi Jawa Tengah, menegaskan bahwa pembuatan T-shirt dan kemeja bertema pers bukan sekadar urusan pakaian tetapi merupakan strategi komunikasi yang disengaja untuk mendekatkan media pada masyarakat. Menurutnya, identitas visual yang dikenakan oleh jurnalis saat bertugas adalah bentuk publikasi yang langsung, jujur, dan efektif, ketika seorang jurnalis tampil dengan atribut media yang jelas, publik tidak hanya mengenali institusi tetapi juga merasakan kehadiran profesionalisme yang mewakili nama baik media itu sendiri.
Pilihan model berkerah maupun tanpa kerah dirancang bukan karena menempatkan formalitas di atas fungsi, melainkan untuk menyeimbangkan kebutuhan estetika brand dan kenyamanan praktis bagi tim lapangan. Dalam penjelasannya, T-shirt tanpa kerah dipilih agar terlihat lebih sporty dan tidak mengganggu mobilitas saat peliputan panjang, sementara T-shirt dengan kerah dan kemeja tetap disediakan sebagai opsi untuk acara formal atau pertemuan yang membutuhkan citra lebih rapi, sehingga seluruh anggota dapat menempatkan diri sesuai konteks tugas mereka.
Pitut memberi penekanan kuat pada prinsip kebebasan memilih dalam batas-batas identitas kolektif, bahwa tidak ada aturan kaku yang mengharuskan seluruh awak redaksi meniru satu gaya tunggal. Ia berpendapat bahwa kekuatan sebuah brand media terletak pada konsistensi nilai dan pesan yang diusung, bukan sekadar seragam yang kaku.
Namun, Dirinya juga menegaskan pentingnya pedoman baku yang jelas untuk menjaga keterbacaan dan keseragaman visual, misal aturan tentang ukuran logo, zona aman di sekeliling logo, pilihan warna yang mewakili citra media, serta penempatan nama dan identitas personal pada seragam perlu ditetapkan agar saat jurnalis bekerja di lapangan, identitas media tetap komunikatif dan tak mudah disalahartikan. Dalam perspektif Pitut, pedoman ini bukan untuk mengekang kreativitas, melainkan untuk memberi kerangka yang aman sehingga variasi model, misalnya pilihan bahan kaos katun untuk kenyamanan atau bordir pada kemeja untuk kesan profesional dapat hidup berdampingan tanpa merusak konsistensi kolektif.
Lebih jauh, Pitut memandang proses pembuatan seragam sebagai momen strategis untuk memperkuat solidaritas redaksi dan memperluas jangkauan komunikasi publik, ia menekankan proses yang inklusif, memberi ruang bagi tiap anggota mengajukan konsep desain, melibatkan tim kreatif internal untuk merancang mockup, serta membuka seleksi vendor yang transparan, akan menghasilkan produk akhir yang layak pakai sekaligus bermakna simbolis.
Dari sisi teknis Pitut menyarankan mempertimbangkan metode sablon DTF untuk cetak penuh warna, polyflex untuk produksi skala kecil, bordir untuk ketahanan jangka panjang, serta pemilihan bahan yang memastikan sirkulasi udara agar jurnalis tidak cepat gerah di lapangan, dengan keputusan teknis yang selalu berpijak pada fungsi apakah seragam itu untuk identifikasi cepat selama liputan, acara formal kantor, atau sebagai merchandise yang membangun kedekatan emosional dengan pembaca.
Pitut menyorot bahwa merchandise bermerek seperti jaket, topi, atau tas bukan sekadar barang promosi tetapi alat komunikasi eksternal dan peluang penggalangan dana yang strategis, karena ketika pembaca atau pendukung memakai atribut media di ruang publik mereka menjadi duta kecil bagi brand sehingga tercipta koneksi simbolis yang memperkuat kredibilitas berita, oleh karena itu pembuatan seragam dan merchandise dari redaksi merupakan perpanjangan nilai jurnalistik, transparansi, tanggung jawab, dan keterbukaan, terlebih bila setiap desain merefleksikan nilai tersebut lewat pilihan warna yang tepat atau slogan singkat yang menggugah.
Dirinya menggarisbawahi perlunya proses persetujuan desain yang singkat namun transparan dari Pimpinan Redaksi agar dinamika kreativitas tidak terhambat birokrasi panjang. Ketika setiap langkah direkam, mulai dari draft desain, spesifikasi bahan, hingga vendor terpilih, redaksi memiliki basis data untuk evaluasi mutu di masa depan dan mempermudah produksi ulang jika diperlukan.
Pitut juga mendorong pembuatan seragam sebagai aktivitas kolektif yang memupuk kebanggaan dan narasi bersama, mulai dari diskusi desain, pemilihan slogan, hingga pemotretan untuk publikasi internal dan eksternal, karena ketika jurnalis tampil serentak dengan atribut yang jelas di lapangan, itu bukan sekadar estetika, melainkan penguat kehadiran yang meningkatkan kepercayaan publik, seragam yang dipakai dengan penuh tanggung jawab menjadi jaminan ada institusi di balik laporan sehingga masyarakat lebih percaya membuka ruang dialog dengan pewarta, dan oleh karena itu kebijakan identitas visual harus menggabungkan disiplin dan fleksibilitas, menjaga konsistensi identitas sambil menghormati preferensi personal yang fungsional, karena keseimbangan antara pedoman yang tegas dan kebebasan variasi model akan melahirkan kebanggaan kolektif, memperluas pengenalan publik, serta menghormati kenyamanan profesional jurnalis.
Pada akhirnya seragam pers adalah alat strategis yang nyata, bila direncanakan dengan baik dan diimplementasikan dengan cermat, ia akan menguatkan suara media dan mendekatkan institusi kepada masyarakat yang dilayaninya.
( FX Winanta Ipunk )
